By: Hikman Sirait, M.Th.

“Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi Rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil” (Roma 1:1).

Ada suatu kebanggaan secara rohani bagi orang-orang Kristen di dalam gereja ketika mengenakan status sebagai “hamba.” Apalagi bila dibelakang kata “hamba” melekat kata “Allah/Tuhan” menjadi “hamba Allah atau hamba Tuhan.”

Pertanyaannya, apakah setiap orang yang mengaku sebagai hamba Allah mengerti makna dan esensi dari status sebagai hamba Allah? Jangan sampai sebagai orang Kristen, khususnya para pelayan di Gereja, mengaku bangga dengan status hamba Allah, tetapi tidak mengerti makna dan esensi dari status tersebut.

Oleh karena itu, dalam artikel ini kita akan belajar dari Rasul Paulus tentang makna dan esensi seorang hamba Allah. Mengacu pada Roma 1:1, kata Yunani yang digunakan Paulus untuk “hamba” adalah doulos yang memiliki arti “budak” baik secara tidak sukarela (belian) maupun sukarela.”

Bagi dunia Yunani, pengenaan status diri sebagai hamba adalah suatu kehinaan yang begitu rupa karena orang Yunani menganggap diri mereka adalah manusia bebas, manusia yang merdeka. Oleh karena itu masyarakat Yunani tidak mau disebut sebagai hamba dari orang lain, atau tidak mau disebut hamba dari dewa-dewi.

Sementara dalam dunia Ibrani, hamba adalah bawahan dari seorang atasan dan setiap orang merupakan hamba dari seorang atasan. Sebagai hamba dari seorang atasan, maka seorang hamba harus memiliki sikap hormat, tunduk, taat serta setia kepada atasan mereka. Seorang hamba harus mengutamakan kepentingan atasannya ketimbang kepentingan mereka sendiri. Seorang hamba harus siap untuk menjalankan misi dari atasannya meskipun misi itu terlihat berat dan mustahil untuk dilakukan.

Perlu diketahui bahwa Paulus adalah orang dengan kualifikasi yang sangat mumpuni dalam banyak hal. Paulus lahir di Tarsus, Kilikia, di Tenggara Asia Kecil (Kis. 9:11), kota pelabuhan dan kosmopolitan serta kota intelektual karena memiliki universitas yang ditunjang oleh pemerintah Romawi.

Meski mengenyam pendidikan ala Yunani yang dikenal memiliki banyak filusuf ternama, namun Paulus lahir dari keluarga Yahudi, sehingga ia memahami tradisi Yahudi dan hukum Taurat yang sangat kompleks. Ini dibuktikan bahwa Paulus dididik langsung oleh Rabi ternama pada masa itu, yakni Gamaliel (Kis. 22:3). Tidak hanya itu, Paulus diyakini sebagai salah satu dari 70 anggota Sanhedrin (Mahkamah Agung Yahudi) dan menjadi pribadi yang tidak bercacat dalam melaksanakan hukum Taurat (Flp. 3:6).

Secara umum deskripsi Paulus adalah seorang yang cakap dalam pengetahuan, baik itu umum (filsafat) dan agama, serta cakap dalam membuat dan berdagang kemah (Kis. 18:3). Kecakapan-kecakapan yang dimiliki disertai kuasa Roh Kudus memudahkan Paulus untuk menyampaikan Injil kepada bangsa-bangsa di luar Yahudi dan menulis sebagian besar dari surat-surat di Perjanjian Baru.

Kualifikasi Paulus sebagai Rasul tidak perlu diragukan lagi. Kendati demikian, pada awal Surat Roma, Paulus justru menempatkan dirinya dalam status sebagai hamba yang mana seluruh dari hidupnya adalah milik tuannya. Dalam konteks ini Paulus menempatkan dirinya sebagai hamba dari Yesus Kristus. Artinya Paulus secara tidak langsung menyatakan bahwa seluruh keberadaan dan hidupnya adalah milik Yesus Kristus dan Yesus Kristus yang hidup di dalam Paulus (Gal. 2:20).

Satu hal yang harus dimengerti oleh setiap orang percaya, khususnya para pelayan-pelayan di gereja, bahwa unsur utama yang terkandung dalam status hamba adalah unsur ketaklukan dan ketaatan penuh kepada tuannya. Takluk artinya mengakui kekuasaan Kristus Yesus atas dirinya. Taat artinya senantiasa tunduk dengan kesadaran penuh kepada Kristus Yesus yang telah menebusnya dari kuasa dosa dan diubahkan menjadi hamba kebenaran (Rm. 6:18).

Merujuk kepada surat-surat yang ditulis Paulus dapat diketahui bahwa Paulus memiiki ketaklukan dan ketaatan penuh kepada Yesus Kristus karena Paulus menyadari bahwa sebagai hamba Yesus Kristus, maka ia harus mentaati Tuannya, Yakni Yesus Kristus (Rm. 6:16). Itulah sebabnya kita melihat bagaimana Paulus begitu taat dan rela melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Roh Kudus. Aniaya dan intimidasi tidak membuat Paulus surut dalam mengabarkan dan mengajarkan Injil kepada orang non-Yahudi. Justru aniaya dan intimidasi yang dialaminya semakin mengobarkan semangatnya untuk mengajar dan memberitakan Injil, karena Paulus mengetahui makna dan esensi dari statusnya sebagai hamba Yesus Kristus, Paulus mengerti keberadaan dirinya dan Pribadi yang dilayani-nya. Oleh karena itu Paulus mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp. 1:21).

Meski status hamba dalam tradisi Yunani pada zaman itu dianggap sebagai suatu kebodohan dan kehinaan yang begitu rupa, namun dibalik itu semua terkandung kerendahan hati dan tersirat kebanggaan bahwa dirinya adalah hamba dari Yesus Kristus. Mengapa demikian? Karena Tuan yang dilayani adalah Yesus Kristus, Tuhan yang penuh kemuliaan, Tuhan yang penuh dengan keagungan dan kebesaran, Tuhan yang Maha Kuasa, Tuhan yang mengorbankan diri untuk menebus orang-orang berdosa, maka status hamba yang disandang Paulus suatu gelar yang begitu terhormat dan mulia.