Hikman Sirait, M.Th.

Covid-19 berhasil membuat banyak orang cemas dan takut seakan-akan dunia berada di ambang kehancuran. Bisnis mandeg, pereknomian jeblok, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sana sini. Harga kebutuhan sehari-hari mulai melambung tinggi tidak terjangkau. Orang-orang mulai menggerutu bahkan tidak sedikit yang mulai mencaci-maki, menyalahkan, dan menghujat. Malah ada orang yang mencuri kesempatan dengan menyebarkan fitnah yang dapat mengakibatkan kepanikan di tengah masyarakat.

Benar, dunia saat ini tengah dilanda pandemi Covid-19. Benar, dunia saat ini banyak dilanda duka. Benar, dunia saat ini masuk dalam masa suram yang sulit diketahui kapan berakhirnya. Kita sedang menghadapi situasi yang sulit. Kita sedang menghadapi situasi yang memprihatinkan. Tapi bukan berarti situasi buruk tersebut menjadi pembenaran bagi siapa saja untuk mencaci-maki, menyalahkan, dan menghujat apalagi menyebarkan fitnah. Tidak ada alasan bagi siapapun di dalam situasi apapun untuk melakukan tindakan-tindakan tercela dan dosa apalagi melalui perkataan.

Kita harus belajar dari kisah Ayub. Firman Tuhan mengatakan Ayub seorang yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayb 1:1). Berdasarkan bahasa Ibraninya dikatakan bahwa Ayub seorang yang terhormat, seorang yang berkarakter (positif), dan orang yang secara moral tidak tercemar. Dengan kata lain, Ayub adalah orang benar di hadapan Allah.

Membaca dan mengkaji teks pada Ayub 1:1 maka sudah ‘selayaknya’ Ayub hidup tanpa masalah. Bukankah banyak orang yang berpikir bahwa orang saleh dan benar tidak akan masuk dalam pencobaan dan penderitaan. Meski demikian, Allah Yang Mahakuasa tetap mengijinkan Ayub masuk dalam pencobaan dan penderitaan.

Pertama, Ayub kehilangan lima ratus pasang lembu dan lima ratus keledai betina karena dirampas orang Syeba. Kedua, Ayub kehilangan tujuh ribu ekor kambing domba beserta para penjaganya karena disambar api dari langit. Ketiga, Ayub kehilangan tiga ribu ekor unta dan para penjaganya karena diserbu orang Kasdim. Keempat, Ayub kehilangan tujuh putera dan tiga puterinya sekaligus karena rumah tempat puteranya mengadakan pesta rubuh menimpa mereka (Ayb. 1:13-19).

Perhatikan baik, di setiap peristiwa malang yang menimpa Ayub, teks menggunakan frase ‘sementara orang itu berbicara’, artinya keempat masalah dan penderitaan yang menimpa Ayub terjadi sekaligus di waktu yang bersamaan.

Apakah pencobaan dan penderitaan yang dialami Ayub sudah selesai?

Belum. Ayub harus menghadapi pencobaan dan penderitaan kelima di mana Ayub ditimpa barah busuk di sekujur tubuhnya (Ayb. 2:7). Kemalangan Ayub belum berakhir karena isteri yang seharusnya menjadi ‘tiang penopang’ dalam hidupnya justru mengejeknya dan menyuruh Ayub mengutuki Allah (Ayb. 2:9). Tak lama kemudian, teman-teman Ayub secara tidak langsung menuduh apa yang dialami Ayub akibat dosa.

Jika dihitung kembali, Ayub menghadapi tujuh pencobaan dan pencobaan-pencobaan yang dihadapi Ayub bukanlah pencobaan-pencobaan yang ringan.

Mungkin orang bisa lapang dada ketika harus kehilangan harta bendanya. Akan tetapi siapa yang dapat menerima dan bertahan jika seseorang harus kehilangan semua anak yang dikasihinya pada waktu bersamaan? Siapa yang dapat menerima dan bertahan jika isteri, belahan jiwanya, malah mengejek dan menyuruhnya mengutuki Allah ketika berada dalam masalah demi masalah? Siapa yang dapat menerima dan bertahan jika ada teman-teman akrab menuduhnya menderita karena dosa? Padahal teks jelas menyatakan, Ayub seorang yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.

Ayub adalah pribadi yang benar dihadapan Allah. Walau Ayub diijinkan Allah masuk dalam masalah demi masalah di dalam hidupnya. Walau Ayub diijinkan Allah menghadapi pencobaan demi pencobaan di dalam hidupnya. Walau Ayub diijinkan Allah mengalami kemalangan demi kemalangan di dalam hidupnya. Walau Ayub harus menghadapi hal-hal yang pahit di dalam hidupnya. Namun firman Tuhan menyatakan bahwa Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. Sekali lagi, Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya (Ayb. 2:10).

Ayub tidak menyalahkan alam. Ayub tidak menyalahkan situasi. Ayub tidak menyalahkan para penjaga. Ayub tidak menyalahkan para perampok. Ayub tidak menyalahkan isterinya. Ayub tidak menyalahkan teman-temannya. Ayub tidak menyalahkan dirinya sendiri. Ayub tidak menyalahkan sekelilingnya. Terlebih lagi, Ayub tidak menyalahkan Allah seperti yang dinyatakan dalam teks, ‘Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut’ (Ayb. 1:22). Ayub tetap hidup benar di hadapan Allah.

Pencobaan, penderitaan, kemalangan, situasi pahit yang dialami tidak menjadi alasan dan tidak menjadi pembenaran bagi Ayub untuk menyalahkan situasi dan orang lain apalagi menyalahkan Allah. Di tengah situasi yang paling buruk sekalipun, Ayub mampu menjaga lidah dan perkataannya. Ayub mampu menjaga hatinya. Ayub mampu menjaga pikirannya. Ayub mampu menjaga perilakunya. Ayub tidak berbuat dosa. Ayub hidup benar di hadapan Allah.

Situasi yang kita hadapi saat ini, yakni pandemi Covid-19 memang menakutkan dan mencekam. Jika kita mau jujur, apa yang tengah kita alami saat ini rasanya tidak seburuk yang dialami oleh Ayub. Apa yang tengah kita derita saat ini rasanya tidak seberat yang ditanggung Ayub. Apa yag tengah kita alami saat ini rasanya tidak semengerikan yang dihadapi Ayub.

Pertanyaannya, apakah kita sebagai orang Kristen mampu bertahan seperti Ayub untuk tidak berbuat dosa di tengah situasi pandemi Covid-19 ini? Apakah kita sebagai orang Kristen mampu bertahan seperti Ayub untuk tidak menyalahkan siapapun dan tidak menyalahkan apapun di tengah pandemi Covid-19 ini?

Jawabannya berpulang kepada diri kita sendiri.
Jika Ayub mampu, maka kita pun pasti mampu.