Daniel Winardi, S.Sn., M.Pd

Musik sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Manusia menggunakan dan mengembangkan musik selama sepanjang sejarah manusia itu sendiri, baik sebagai hiburan semata, opening dalam sebuah acara, mengiring para tamu restoran, ritual ibadah, pembelajaran di dalam pendidikan, dan bahkan musik adalah mata pencaharian manusia itu sendiri.

Di dalam ritual agama, musik menjadi unsur penting sebagai bagian di dalamnya. Sepertinya tidak ada satu agamapun di dunia ini yang ritualnya tidak menggunakan musik ataupun nyanyian, karena memang bagi para penganut agama, terutama agama-agama pagan, musik adalah pemberian dari para dewa yang diberikan kepada manusia dan dipakai oleh manusia itu sendiri sebagai sarana menyampaikan ekspresi pujian dan penyembahan kepada para dewa.

Musik tidak hanya dihubungkan dengan ritual keagamaan tetapi juga berkaitan degan kelas sosial, ras, suku bangsa, faktor ekonomi, dsb. Masih ingat dengan toko kaset atau CD yang menjual berbagai karya musik berbagai negara dan genre dalam bentuk kaset, CD, maupun DVD? Setiap kali ke sana, kita melihat terjadi pemisahan yang cukup jelas antara bagian musik Barat dengan musik Indonesia. CD atau kaset import terletak di tempat yang khusus dan harganya jauh lebih mahal dari karya dalam negeri.

Menurut beberapa penelitian dari para entnomusikolog, hal ini bukanlah tanpa dasar atau sekedar iseng untuk mempermudah para pembeli membeli album tersebut, tetapi hal tersebut dilatarbelakangi oleh apa yang disebut xenosentrisme, yaitu anggapan bahwa budaya asing lebih unggul daripada budaya lokal.

Kita juga tidak bisa memungkiri beberapa musik dikategorikan sebagai “musik orang kaya”, misalnya di café-café mahal atau restoran berbintang, musik yang diputar bukanlah musik dangdut, keroncong, pop alternatif Indonesia, dan berbagai musik lokal lainnya, melainkan musik jazz, classic, atau mungkin pop barat. Mengapa? Karena memang musik seperti dangdut misalnya, sudah dikategorikan sebagai “musik kelas menengah ke bawah”, “musik kampungan”, dsb. Tanpa merendahkan para penikmat musik lokal, tapi memang itulah yang menjadi paradigma sebagian besar orang Indonesia. Musik tidak terlepas dari pemikiran, kelas sosial dan ekonomi, filsafat, dan juga secara teologis.

Sepanjang sejarah, terdapat berbagai definisi dari musik itu sendiri. Plato punya definisinya sendiri tentang musik. Aristoteles punya pengertian sendiri juga mengenai musik. Confucius juga punya definisi mengenai musik sesuai dengan kebudayaan Cina kuno. Gereja abad pertengahan dan zaman reformasi punya definisi sendiri, begitu juga orang muslim di Arab, orang Yahudi, orang di zaman renaissance, Barok, Klasik, Romantik, Impresionists, musisi kontemporer, dan sebagainya.

Sebagian besar musisi klasik menganggap musik yang dimainkan oleh orang kontemporer di awal abad ke-20  bukanlah musik, tapi hanya bunyi-bunyian yang tidak beraturan, bahkan dianggap sampah bagi sebagian orang. Musik Ragtime tahun 1890an dicela, juga musik jazz di abad 20 yang berkonotasi negatif.

Sementara sebagian besar gereja di masa munculnya jazz, menganggap musik gospel adalah yang paling unggul, dalam rangka memberitakan injil dan menyelamatkan orang-orang berdosa, sehingga penyanyi seperti Sister Rosseta Tharpe sempat ditolak oleh gerejanya sendiri karena mulai terjun ke dunia sekuler dan memasukkan unsur lain ke dalam musik gospel. Begitu juga dengan musik rock di tahun 60an yang dipopulerkan oleh The Beatles dan oleh musisi Inggris lainnya di Amerika atau yang kita kenal zaman itu dengan British Invasion, dianggap sebagai bukan musik, musik setan, hanya bunyi-bunyian pemberontakan, berkenaan dengan kaum hippies di Amerika dan juga berbagai pemberontakan di berbagai belahan dunia Eropa oleh gerakan kiri baru. Bahkan waktu pertama-tama musik EDM dan K-Pop begitu popular, sebagian musisi merasa skeptis apakah ini bisa disebut musik.

Berdasarkan apa yang sudah diuraikan di atas muncul berbagai pertanyaan seperti, apakah musik itu? Apakah ukuran sesuatu itu dapat disebut musik atau tidak? Apakah benar musik-musik atonal dari Debussy, Bartok, dan Stravinsky bukan musik? Apakah dangdut bukan musik? Permasalahan ini sangat kompleks.

Secara teologis, Allah mewahyukan dirinya secara umum dan khusus. “Mewahyukan” artinya “membuka selubung” atau dengan kata lain “menyatakan diri.” Pewahyuan khusus berarti Allah menyatakan diri secara khusus hanya kepada sebagian orang. Contoh wahyu khusus adalah Yesus Kristus dan Alkitab. Sedangkan, pewahyuan umum adalah segala ciptaan Allah di alam semesta ini, seperti matahari, bulan, bumi, pohon, udara, sel manusia, hati nurani manusia, dan manusia itu sendiri.

Wahyu umum kemudian direspon oleh manusia. Respon manusia terhadap wahyu umum ini ada dua macam: secara internal dan eksternal. Secara internal, artinya secara batin, respon inilah yang kita sebut sebagai agama. Secara eksternal, respon tersebut menghasilkan budaya.

Kita melihat kebudayaan begitu berbeda di berbagai daerah dan belahan dunia. Pakaian, bahasa, dan kesopanan orang Jawa dengan Medan pasti berbeda, Papua dengan Aceh juga beda. Di dalam budaya ada seni, di dalamnya seni tari, pahat, seni lukis, dan musik juga termasuk. Jadi, kita dapat katakan bahwa musik adalah salah satu bentuk respon manusia terhadap wahyu umum Allah. Setiap daerah berbeda cara bermusiknya. Ketika mereka lihat pegunungan dan keindahannya, mereka membuat lagu. Ketika sedang dalam keadaan peperangan, lagunya juga dibuat untuk mendukung ataupun bentuk protes terhadap perang itu. Ketika seseorang jatuh cinta, ia juga mengungkapkan responnya dengan musik, yang isinya tentang keindahan dari kekuatan cinta yang Tuhan berikan.

Meskipun demikian, apakah musik hanya sekedar respon manusia? Tidak juga, karena sebelum manusia diciptakan, musik pasti sudah ada. Di dalam Wahyu 5:9 dikatakan sudah ada nyanyian di surga. Bahkan, Lucifer dipercaya sebagai malaikat di bidang musik. Akan tetapi, di dalam kronos atau sejarah dunia ini, Allah tampaknya tidak membuat musik itu sesuatu yang sudah jadi, seperti halnya tidak ada chicken yakiniku yang akan kita temukan begitu saja di dalam sebuah peternakan ayam. Seseorang harus membuatnya bukan?

Begitu juga dengan musik. Allah tampaknya tidak menaruh alunan melodi dan harmoni atau sebuah lagu begitu saja di dalam dunia, tetapi hanya menyiapkan bahan mentahnya saja, seperti suara burung, ombak laut, tetesan air hujan, suara lumba-lumba, tiupan angin, dan juga kayu dari pohon yang akan digunakan untuk membuat sebuah alat musik. Nada juga merupakan hal yang natural, yang berasal dari Allah, karena tidak ada manusia yang menciptakan sebuah nada, mereka hanya menemukannya. Bahan-bahan itulah yang harus masuk ke dalam otak manusia, dicerna, diproses, baru menjadi sebuah musik.

Bunyi-bunyian saja tidak dapat disebut sebagai musik, sampai ia diproses oleh seseorang dan membentuk alunan melodi dan memiliki ritmik. Sukahardjana mengatakan, bagi manusia, musik baru disebut sebagai musik, jika ia masuk ke dalam pikiran manusia, karena suara musik yang sama yang masuk ke dalam telinga seekor kucing, tidak dicerna sebagai musik. Kompleksitas otak manusia dan estetika yang dikaruniakan Allah, memampukannya untuk mengenal bunyi-bunyian dan menyusunnya sebagai karya musik. Bahkan, tanpa alat musik pun seseorang bisa menciptakan musik di dalam pikirannya. Betapa agungnya karya ciptaan Allah ini!

Seorang filsuf, Bernedetto Croce mengatakan bahwa seni itu abstrak, hanya berada di dalam mental atau pikiran si seniman. Musik itu abstrak, bukan sesuatu yang konkret. Oleh karena manusia yang menyusun musik dalam pikirannya, musik sangat ditentukan oleh musisi itu sendiri. Setelah ia memikir-mikirkan ide musik di dalam otaknya, ia mulai mencurahkannya lewat media atau alat yang dapat merealisasikan pikirannya itu menjadi sesuatu yang konkret. Apa yang ada di kepalanya, menjadi sebuah kenyataan atau realitas objektif. Karya musik itulah yang menjadikan dia seorang musisi.

Jadi, kalau musik itu di dalam pikiran manusia, berarti piano, gitar, drum, gamelan, violin itu apa? Mereka bukanlah musik, tetapi alat musik. Alat musik bukanlah musik, tapi hanya alat untuk menyalurkan ide dari musisinya. Alat itu dibuat sengaja untuk membuat musik di pikiran musisinya menjadi sesuatu yang konkret. Saya sangat dicerahkan oleh Victor Wooten, salah satu bassist terbaik di dunia, mengatakan bahwa “music comes from musician, not instrument.” Kalimat ini sangat penting dan memberitahu kita bahwa yang harus dibangun kualitasnya adalah musisi itu sendiri, karena memang musik lahir dari manusianya, bukan alat musik.

Banyak orang yang menabung bertahun-tahun untuk membeli instrumen yang sangat mahal dan bagus, karena mereka pikir “kalau alat saya bagus, pasti musik yang saya hasilkan juga pasti bagus.” Pikiran ini keliru, karena musik bukan datang dari instrumen, tapi musisi. Coba kita pikirkan, seandainya seorang Echa Soemantri diberi drum yang hanya seharga 5 juta, apakah permainannya akan buruk? Apakah ketika seorang Joseph. S. Djafar diberi keyboard murah, ia tidak bisa memainkan sebuah lagu gereja yang enak di telinga? Dan apakah jika seseorang baru belajar bermain drum selama sebulan diberi drum DW yang harganya sekitar 100 juta akan menghasilkan permainan drum yang baik? Saya yakin tidak, karena musik datangnya dari musisi, bukan instrumen. Musisi yang profesional tentu saja akan tetap menghasilkan musik yang enak, sekalipun alatnya tidak memadai.

Perlu dipahami bahwa memiliki alat musik yang bagus dan berkualitas itu penting. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk memiliki alat musik yang bagus dan berkualitas tinggi apalagi alat musik yang mahal. Namun untuk menghasilkan musik yang indah dan harmoni bukan didasarkan instrumen musiknya melainkan karena kemampuan dan keahlian musisi yang bersangkutan. Oleh karena itu penting bekerja keras dengan terus-menerus berlatih untuk meningkatkan kemampuan dan jam terbang.

Kembali kepada pembahasan di awal: jadi apakah ada musik yang tidak pantas disebut musik? Beberapa orang dari denominasi gereja mainstream sempat mencap musik-musik EDM yang pernah berkembang pesat beberapa waktu lalu sebagai “bukan musik”, khususnya musik-musik EDM yang berkembang di gereja, karena begitu mudahnya mereka membuat musik tanpa disertai dengan skill yang baik, terkesan asal-asalan, liriknya mengandung nilai teologi yang rendah, dan mirip seperti musik di diskotik. Jadi apakah musik yang dianggap “rendahan” itu bukanlah musik pada dirinya sendiri?

Mari kita coba pikirkan dengan analogi ini: apakah uang 100 rupiah bukan uang? Tentu itu juga uang, hanya saja nilainya rendah. Uang 500, 1000, 2000, juga adalah uang sekalipun nilainya tak seberapa. Jadi yang kita harus permasalahkan adalah nilai dari karya musik. Tentu saja banyak sekali faktor yang membuat sebuah musik itu dinilai tinggi dan penilaian itupun sangat subyektif tergantung dari siapa pendengarnya dan apa konteks zamannya. Dari apa yang saya baca dari sejarah musik, umumnya musik yang baru memang membuat kontroversi seperti ini. Yang terpenting adalah belajar menghargai karya musik yang berkembang di setiap zaman. Jangan sekali-kali memberi label suatu musik dengan “ini bukan musik.” Musik yang tidak bagus dan berisi lirik yang asal-asalan pun tetap adalah sebuah musik. Permasalahkanlah nilai dari musik itu. Apalagi jika anda adalah seorang musisi, belajarlah menilai sebuah musik secara objektif (meskipun tidak mungkin sepenuhnya) dari kompleksitasnya, kerapihan permainan dari musisinya, ide atau kreativitasnya, atau orisinalitas musik tersebut, dsb.

Musik adalah anugerah Allah. Ia memberi manusia kemampuan dan kreativitas yang sangat luar biasa untuk dapat menyusun dan mengembangkan materi-materi yang telah Ia letakkan di dunia ini menjadi berbagai karya musik di sepanjang sejarah. Sebagai manusia yang beragama dan berbudaya, pakai dan kembangkanlah musik sebagai sesuatu yang mulia dan indah, pakailah untuk menyembah dan memuji Allah Tritunggal (bagi orang Kristen), dan gunakan juga untuk membagi kebahagiaan bagi masyarakat.