Rita Setiawan (Mahasiswa STT Bethel The Way)

Marah itu manusiawi! Kesal itu manusiawi! Sedih itu manusiawi! Benar, marah, kesal, sedih dan lain-lain itu bagian dari emosi manusia. Namun marah, kesal, sedih dan lain-lain itu bisa berdampak negatif dan berbahaya jika tidak dikendalikan.

Mengapa demikian? Karena marah, kesal, sedih dan lain-lain itu membuat seseorang tidak dapat melihat situasi dirinya dan sekelilingnya dengan jernih. Bukan itu saja, marah, kesal, sedih dan lain-lain itu dapat mempengaruhi perilaku dan tujuan seseorang. Hal inilah yang dialami oleh Musa, seorang nabi besar dan nabi yang disegani di sepanjang sejarah Israel.

Pada suatu kali, umat Israel berkumpul dan mengerumuni Musa dan Harun. Kemudian umat Israel bertengkar dengan Musa karena di tempat itu tidak ada air bagi umat Israel. Menghadapi situasi tersebut, Musa dan Harun datang kepada Tuhan di pintu kemah dan bersujud. Musa dan Harun sebagai pemimpin telah mengambil langkah yang tepat dengan datang dan meminta nasihat Tuhan (Bilangan 20:1-9).

Namun beberapa saat kemudian Musa mengeluarkan kata-kata yang “tajam” dan “pedas” kepada umat Israel (Bilangan 20:10). Sepintas lalu kita pasti berpikir apa yang dikatakan oleh Musa kepada umat Israel merupakan hal yang wajar dan lumrah. Karena umat Israel merupakan kumpulan orang-orang yang tegar tengkuk dan suka berkeluh-kesah. Bahkan kata-kata yang “tajam” dan “pedas” dari Musa disebabkan oleh sikap umat Israel yang mengerumuni Musa dan Harun dan bertengkar dengan kedua pemimpin Israel itu.

Kita mungkin berpandangan, apa yang dikatakan Musa karena sebab dan akibat. Kita mungkin berpikiran, apa yang dikatakan Musa terbilang wajar jika melihat situasinya. Namun firman Tuhan berkata lain, Musa dinilai terpancing dan teledor dengan kata-katanya. “Mereka menggusarkan Dia dekat air Meriba, sehingga Musa kena celaka karena mereka; sebab mereka memahitkan hatinya, sehingga ia teledor dengan kata-katanya.” (Maz 106:32-33). Bahkan Tuhan menganggap Musa dan Harun tidak percaya kepada Allah dan tidak menghormati kekudusan Tuhan di mata orang Israel. Musa dan Harun harus menanggung konsekuensi yang berat, tidak diizinkan masuk ke tanah Kanaan (Bilangan 20:12; Ulangan 32:51).

Apa pesan yang dapat diambil dari kisah Musa dan Harun di Meriba?

Pesannya adalah tidak ada alasan apapun dan bagi siapapun terutama bagi pemimpin untuk meluapkan amarah dan kekesalan dengan mengeluarkan perkataan yang “tajam” dan “pedas” atau perkatan yang “pahit” dan “buruk” apalagi perkataan yang jahat kepada orang lain.

Kita sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus hendaknya menghormati dan menjaga kekudusan Allah dengan menjaga perbuatan dan perkataan. Selain itu, pesan firman Tuhan di balik peristiwa di Meriba adalah perkataan yang jahat tidak dibalas dengan perkataan yang jahat tetapi balaslah dengan perkataan berkat. Namun yang juga sama pentingnya adalah, setiap orang percaya perlu menguasai dirinya (Gal. 5:23).

Kiranya firman ini menegor dan membentuk kembali hati kita agar kita lebih sungguh-sungguh lagi menjaga kekudusan hidup kita, terutama dalam perkataan.