By: Meriyana, M.Th.

“Tuhan, mengapa saya harus mengalami kejadian buruk ini padahal saya sudah melayani Tuhan!,” atau “Tuhan, mengapa orang itu hidupnya aman dan sejahtera padahal dia tidak pernah ke gereja dan pelit sekali, sementara saya selalu memberikan persembahan dan persepuluhan akan tetapi hidup saya menderita!.”

Banyak teriakan-teriakan tidak terima dari orang Kristen ketika dihadapkan pada suatu persoalan di dalam hidupnya. Tidak sedikit yang berpaling dan meninggalkan Tuhan karena merasa Tuhan tidak adil kepada dirinya. Sampai ada yang berkata di dalam hati, “Untuk apalagi pelayanan!,” atau “Untuk apalagi ke gereja!,” atau “Ga ada gunanya memberikan persembahan!,” atau “Percuma beribadah,” dan kata-kata lainnya yang menghina dan menghujat Tuhan.

Firman Tuhan menyatakan bahwa Ayub seorang yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Bukan itu, Ayub perhatian kepada anak-anaknya dengan menguduskan mereka dan mempersembahkan korban bakaran bagi Allah dengan tujuan agar anak-anaknya mendapatkan pengampunan Allah (Ayub 1;1-5).

Sulit di zaman Ayub sendiri bahkan di zaman now untuk mendapatkan orang yang ‘hebat’ seperti Ayub. Akan tetapi, apakah hidup Ayub aman-aman saja? Apakah hidup Ayub nyaman-nyaman saja tanpa masalah? Jawaban jelas TIDAK!  

Alkitab menuliskan bahwa Ayub diizinkan masuk di dalam persoalan dan penderitaan yang mengerikan dan menakutkan. Ayub kehilangan harta bendanya. Ayub kehilangan tujuh putera dan tiga puterinya. Yang tinggal hanya isteri yang menyuruhnya untuk mengutuki Allah. Tidak berhenti sampai di situ, Ayub terkena barah yang busuk dari telapak tangan sampai kepala (Ayub 2:7).

Meski menghadapi persoalan dan penderitaan yang begitu berat, akan tetapi respon Ayub justru luar biasa. Ayub tidak protes kepada Tuhan. Ayub tidak marah-marah kepada Tuhan. Ayub tidak pamer-pamer tentang kesalehannya di hadapan Tuhan. Ayub malah berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2;10).

Ayub menyadari secara penuh bahwa segala sesuatu yang dimiliki adalah pemberian Allah dan hidupnya sendiri adalah milik Allah. Ayub menyadari secara penuh bahwa Allah berdaulat dan kehendak Allah yang terjadi di dalam hidupnya bukan keinginan dirinya sendiri.

Respon Ayub atas apa yang dialaminya menunjukkan bahwa Ayub sudah berada di Next Level, bukan level kaleng-kaleng, tetapi level yang tinggi, level yang juga harus kita jangkau.

(Artikel sudah melalui proses Editing)